DECISION MAKER RISKS AND RETURN

Author  : Sumarni Randriany 

       Pada dasarnya terdapat pengaruh yang erat antara pengambil keputusan (decision maker) dengan risiko dan hasil (Risks and Return) dari setiap keputusan yang diambil, baik keputusan investasi maupun keputusan operasional. 
Investasi dapat diartikan sebagai komitmen untuk menanamkan sejumlah dana pada saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang. Dengan kata lain, investasi merupakan komitmen untuk mengorbankan konsumsi sekarang dengan tujuan memperbesar konsumsi di masa datang. Investasi dapat berkaitan dengan penanaman sejumlah dana pada aset riil seperti: tanah, emas, rumah dan aset riil lainnya atau pada aset finansial seperti: deposito, saham, obligasi, dan surat berharga lainnya.
Harapan keuntungan di masa datang merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan investasi yang dilakukan. Dalam konteks investasi, harapan keuntungan tersebut sering disebut sebagai return. Seorang investor mengharapkan return yang tinggi dari investasi yang dilakukannya. Namun, untuk mendapatkan return yang tinggi, investor menghadapi risiko yang tinggi pula. Artinya semakin tinggi return yang diharapkan semakin tinggi risiko investasi. Penelitian Siegel (1992) yang membandingkan return saham dan obligasi di Amerika dalam kurun waktu hampir seabad (1902-1990) menemukan bahwa return saham jauh melebihi return obligasi. Hal itu diikuti pula dengan fakta bahwa risiko saham jauh lebih tinggi dibandingkan risiko obligasi.
Akhir-akhir ini banyak tawaran investasi dengan iming-iming return yang sangat tinggi bahkan cenderung tidak rasional secara bisnis. Di lain fihak tidak pernah dikemukakan apa dan seberapa besar risikonya, sehingga banyak masyarakat yang dirugikan atas keikut sertaannya dalam berinvestasi. Fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa setiap ada tawaran investasi yang menjanjikan return yang tinggi selalu mendapatkan respon yang besar tanpa memperhitungkan risikonya dibelakang hari. Masih ingat kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), dan CV Medical yang populer dengan sebutan kasus gingseng, yang baru saja terungkap adalah CV Berlian Artha Sejahtera (Investindo) di Purbalingga yang mampu menyedot investor sebanyak 1.700 orang dengan nilai investasi sebesar Rp 62 miliar yang sampai sekarang belum dapat terbayarkan dan direkturnya sudah ditahan oleh pihak kepolisian, serta masih banyak lagi kasus yang lainnya. Mereka menawarkan ”mimpi” (return) tetapi tidak menunjukkan ”realitas” (risiko) kepada calon investor.
Dalam investasi, disamping return juga dikenal adanya konsep risiko. Risiko investasi bisa diartikan sebagai kemungkinan terjadinya perbedaan antara return aktual dengan return yang diharapkan. Dua konsep ini, risiko maupun return, bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berdampingan. Artinya, dalam berinvestasi, di samping menghitung return yang diharapkan, investor harus memperhitungkan risikonya. Investor perlu mencari alternatif investasi yang menawarkan tingkat return yang paling tinggi dengan tingkat risiko tertentu, atau investasi yang menawarkan return tertentu pada tingkat risiko terendah.
Sumber-sumber return investasi terdiri dari dua komponen utama, yaitu yield dan capital gain (loos). Yield merupakan komponen return yang mencerminkan aliran kas atau pendapatan yang diperoleh secara periodik dari suatu investasi. Jika investasinya pada sebuah obligasi atau mendepositokan uang di bank, maka besarnya yield ditunjukkan dari bunga obligasi atau bunga deposito yang  diterima. Apabila jika kita membeli saham, yield ditunjukkan oleh besarnya dividen yang kita peroleh. Sedangkan, capital gain sebagai komponen kedua dari return merupakan kenaikan (penurunan) harga suatu surat berharga (saham atau obligasi), yang bisa memberikan keuntungan (kerugian) bagi investor.
Seperti dijelaskan di atas, di samping memperhitungkan return, investor juga perlu mempertimbangkan tingkat risiko suatu investasi sebagai dasar pembuatan keputusan investasi. Ada beberapa sumber risiko yang bisa mempengaruhi besarnya risiko investasi antara lain: risiko suku bunga, risiko pasar, risiko inflasi, risiko bisnis, risiko finansial, risiko likuiditas, risiko nilai tukar dan risiko negara (country risk) serta masih banyak lagi sumber risiko.

Diversifikasi
Untuk menurunkan risiko, investor perlu melakukan diversifikasi. Diversifikasi dapat bermakna bahwa investor perlu membentuk portofolio penanaman dana sedemikian rupa hingga risiko dapat diminimalkan tanpa mengurangi return yang diharapkan. Mengurangi risiko tanpa mengurangi return adalah tujuan investor dalam berinvestasi.
Henry Markowitz (1952) memberikan nasihat yang sangat penting dalam diversifikasi portofolio investasi yaitu ”not to put all eggs in one basket” (janganlah menaruh semua telur ke dalam satu keranjang), karena kalau keranjang tersebut jatuh, maka semua telur yang ada dalam keranjang tersebut akan pecah. Teori portofolio yang diperkenalkan oleh Markowitz (yang di kalangan ahli manajemen keuangan disebut sebagai the father of modern portfolio theory) telah mengajarkan konsep diversifikasi portofolio secara kuantitatif. Dengan bantuan teknik statistik sederhana ia dapat menunjukkan dengan sistematis bagaimana bekerjanya mekanisme nasihat Markowitz tersebut, sehingga investor dapat menekan risiko portofolionya. Markowitzlah yang mula-mula mengajarkan bagaimana mengukur hasil (return) dan risiko (risk) portofolio sehingga memudahkan investor dalam menbanding-bandingkan berbagai ”keranjang” bukan telur. Sekilas ajaran tersebut terlihat sederhana, namun mempunyai makna yang dalam tentang bagaimana proses diversifikasi investasi dapat menurunkan risiko. Ajaran ini pula yang mengantar Markowitz meraih penghargaan Nobel di bidang ekonomi dan keuangan pada tahun 1990.
Kontribusi penting dari ajaran Markowitz adalah bahwa risiko portofolio tidak boleh dihitung dari penjumlahan semua risiko aset-aset yang ada dalam portofolio, tetapi harus dihitung dari kontribusi risiko aset tersebut terhadap risiko portofolio, atau diistilahkan dengan kovarians. Kovarians adalah suatu ukuran absolut yang menunjukkan sejauh mana return dari dua sekuritas/ aset dalam portofolio cenderung untuk bergerak secara bersama-sama atau merupakan koefisien korelasi antara satu aset dengan aset yang lain.
Dalam pembentukan portofolio, investor selalu ingin memaksimalkan return yang diharapkan dengan tingkat risiko tertentu yang bersedia ditanggungnya, atau mencari portofolio yang menawarkan risiko terendah dengan tingkat return tertentu. Karakteristik portofolio seperti ini disebut sebagai portofolio yang efisien. Untuk membentuk portofolio yang efisien, salah satu asumsi yang paling penting  adalah bahwa semua investor tidak menyukai risiko (risk averse). Investor seperti ini jika dihadapkan pada dua pilihan investasi yang menawarkan return yang sama dengan risiko yang berbeda, akan cenderung memilih investasi dengan risiko lebih rendah. Namun demikian dalam perilaku berinvestasi tidak semua  investor bersifat  risk averse.
Sebagai gambaran macam-macam perilaku investor di pasar modal Bailard, Biehl & Kaiser (2003), sebuah lembaga investasi di California mengatakan ada 5 macam investor di pasar modal yang dikenal sebagai the Five-Way Model. Kelompok pertama disebut kelompok petualang (adventurers). Orang-orang yang termasuk di dalam kelompok ini pada umumnya tidak memperdulikan risiko, bahkan cenderung untuk menyukainya (risk takers). Mereka cenderung untuk tidak memperdulikan nasihat para financial advisors karena berbeda pandangan tentang risiko.
Kelompok investor kedua adalah kelompok yang dinamakan celebrities. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang selalu ingin tampil, menonjol, dan menjadi pusat perhatian. Mereka seringkali tidak terlalu peduli pada perhitungan untung rugi investasi, asalkan keputusan mereka untuk membeli atau menjual surat berharga dilihat dan didengar oleh orang banyak. Kelompok ini cenderung untuk bersifat risk takers.
Kelompok ketiga disebut sebagai kelompok individualists. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang cenderung untuk bekerja sendiri dan tidak peduli pada keputusan investasi orang lain (jadi merupakan kebalikan dari perilaku yang cenderung untuk mengikuti arus). Kelompok ini cenderung untuk menghindari risiko yang tinggi dan tidak keberatan untuk menghadapi risiko yang moderat.
Selanjutnya ada kelompok investor yang keempat disebut sebagai kelompok guardians. Kelompok ini beranggotakan investor yang lebih “matang”, lebih berpengalaman serta berpengetahuan relatif luas. Mereka cenderung untuk sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Kalau mereka didampingi oleh financial advisor, maka pendampingnya itu akan dijadikan teman berdiskusi. Kalau ternyata terjadi ”kesalahan” keputusan investasi, kelompok ini cenderung tidak mengkambing hitamkan orang lain, karena merasa telah terlibat langsung dalam proses pemilihan investasi. Mereka yang ada di kelompok ini pada umumnya lebih bersifat risk averse.
Kelompok yang terakhir adalah kelompok yang tidak dapat secara tegas dimasukkan ke salah satu dari empat kelompok di muka. The Five-Way Model menyebutnya sebagai kelompok straight arrows. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini kadang-kadang bersifat sangat risk averse, kadang-kadang sebaliknya. Suatu ketika mereka mengambil keputusan atas dasar kepercayaan pada kemampuan diri sendiri seperti halnya kelompok individualists, tetapi pada waktu lain lebih menampakkan sifat follow the crowd (Marwan Asri, 2003).

Aset Berisiko dan  Aset Bebas  Risiko
Dalam berinvestasi, investor bisa memilih menginvestasikan dananya pada berbagai aset, baik aset yang berisiko maupun aset yang bebas risiko, ataupun kombinasi dari kedua aset tersebut. Pilihan investor atas aset-aset tersebut akan tergantung dari sejauhmana preferensi investor terhadap risiko. Semakin enggan seorang investor terhadap risiko (risk averse), maka pilihan risiko investasinya akan cenderung lebih banyak pada aset-aset yang bebas risiko.
Aset berisiko adalah aset-aset yang tingkat return aktualnya di masa depan masih mengandung ketidakpastian. Salah satu contoh aset berisiko adalah saham. Misalnya kita hari ini membeli saham perusahaan tertentu, kita tidak tahu pasti berapa return aktual yang akan diperoleh di masa yang akan datang baik yang berupa dividen maupun keuntungan dari selisih harga saham tersebut. Demikian halnya apabila kita membeli obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan, kita tidak dapat memastikan bahwa pada saat jatuh temponya obligasi tersebut akan dapat terbayarkan oleh perusahaan yang mengeluarkan obligasi.
Aset bebas risiko merupakan aset yang tingkat returnnya di masa depan sudah bisa dipastikan pada saat ini, dan ditunjukkan oleh varians return yang sama dengan nol. Contoh aset bebas risiko adalah obligasi yang diterbitkan pemerintah (ORI), atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, karena tidak mungkin Pemerintah atau Bank Indonesia tidak membayarkan obligasi atau SBI yang diterbitkan pada saat jatuh temponya.
Dalam model Markowitz sebagaimana telah dibahas dimuka, investor bisa menentukan pilihan portofolio optimal dari berbagai pilihan portofolio yang ada pada garis portofolio yang efisien. Akan tetapi, model Markowitz tersebut membatasi pilihan investor hanya pada portofolio yang terdiri dari aset berisiko. Padahal dalam kenyataannya, investor bebas memilih portofolio yang juga terdiri dari aset bebas risiko. Oleh karena itu muncul teori yang didasari oleh teori portofolio yaitu teori Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang mula-mula dikenalkan oleh Sharpe pada tahun 1964, kemudian disempurnakan oleh Lintner dan  Mossin beberapa tahun kemudian. Dalam teori ini diajarkan bahwa return yang disyaratkan dari sebuah investasi pada surat berharga ditentukan oleh dua komponen, yaitu return investasi bebas risiko (risk free rate) dan premi risiko (risk premium). Persamaan CAPM menunjukkan bahwa saham dengan risiko yang besar harus mampu memberikan premi risiko yang besar pula; demikian sebaliknya.
Terdapat dua macam risiko pada setiap sekuritas yaitu risiko yang dapat dihilangkan atau diperkecil dan risiko yang tidak dapat dihilangkan melalui diversivikasi. Risiko sekuritas yang dapat dihilangkan melalui diversifikasi disebut risiko yang tidak sistematis atau unsystematic risk atau diversifiable risk. Untuk risiko yang tidak dapat dihilangkan melalui diversifikasi disebut dengan risiko yang sistematis atau systematic risk, ada yang menyebutnya market risk. Risiko yang sistematis adalah risiko yang terjadi karena faktor perubahan pasar secara keseluruhan, seperti misalnya karena perubahan tingkat suku bunga yang mengakibatkan meningkatnya tingkat keuntungan yang disyaratkan atas sekuritas secara keseluruhan, inflasi, resesi ekonomi, perubahan kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Adapun risiko yang tidak sistematis adalah risiko yang terjadi karena karakteristik perusahaan yang mengeluarkan sekuritas berbeda satu dengan lain seperti misalnya dalam hal kemampuan manajemen, kebijakan investasi, kondisi dan lingkungan kerja. Karena perbedaan atau keunikan itu maka masing-masing sekuritas memiliki kepekaan yang berbeda terhadap setiap perubahan pasar.

Hasil Studi Empiris
Beberapa hasil studi empiris tentang jumlah saham dalam portofolio yang bisa mengurangi risiko telah dilakukan, dan menghasilkan rekomendasi bahwa untuk mengurangi risiko portofolio diperlukan sedikitnya antara 15 hingga 20 jenis saham. Beberapa penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh: Reilly (1992) memberikan rekomendasi jumlah saham minimal 12 – 18 saham;  French (1989) jumlah saham minimal 20 saham; Winger dan Frasca (1991) merekomendasikan jumlah saham 15 – 20 saham. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Tandelilin (1998) di pasar modal Indonesia dan Pilipina. Penelitian tersebut menghasilkan rekomendasi bahwa untuk meminimalkan risiko portofolio sedikitnya diperlukan 14 saham untuk pasar modal Pilipina dan 15 saham untuk pasar modal Indonesia.
Bagi investor yang ingin membeli saham pada pasar perdana atau saham yang ditawarkan kepada publik untuk pertama kali oleh perusahaan (Initial Public Offering) terdapat informasi yang asimetri antara pemilik lama dengan investor potensial. Pemilik lama memiliki informasi privat tentang prospek perusahaan atau mengetahui tentang kondisi dan prospek arus kas di masa yang akan datang sedangkan investor potensial tidak memiliki informasi tersebut. Investor tidak mengetahui apakah perusahaan yang melakukan IPO itu benar-benar bagus. Untuk itu diperlukan suatu sinyal yang dapat ditangkap dan dianalisis oleh calon investor  bahwa perusahaan mempunyai prospek yang bagus. Leland dan Pyle (1977) telah mengadopsi teori  sinyal Spence (1973) ke dalam pasar penawaran umum perdana. Leland dan Pyle (1977) menggunakan retensi kepemilikan saham (α) atau proporsi saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama setelah penawaran umum perdana sebagai sinyal arus kas di masa yang akan datang atau sinyal prospek perusahaan. Semakin besar α dapat dimaknai bahwa perusahaan mempunyai prospek yang bagus. Para investor berkesimpulan bahwa semakin baik prospek arus kas perusahaan makin enggan pemilik lama membagikan kekayaannya kepada orang lain, makin besar proporsi saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama.
Prediksi teori Leland dan Pyle (1977) ini telah banyak diuji secara empiris antara lain: Downes dan Heinkel (1982); Ritter (1984); Krinky dan Rotenberg (1989); Clarkson et al (1991); Keasey dan Short (1997); Prasad dan Merikas (1990); Firth dan Liau-Tau (1998). Hasil temuan mereka menunjukkan ada hubungan yang positif antara proporsi saham yang masih dipertahankan oleh  pemilik lama dengan prospek arus kas di masa yang akan datang. Hasil temuan ini memberikan dukungan pada teori sinyal Leland dan Pyle tersebut. Teori sinyal Leland dan Pyle ini juga dikembangkan oleh beberapa ahli manajemen keuangan antara lain: Hughes (1986); Grinblatt dan Hwang (1989); Courteau (1995); dan Datar, Feltham dan Hughes (1991). Mereka memasukkan variabel lain disamping α dalam memberikan sinyal prospek perusahaan.
Di pasar modal Indonesia penelitian untuk menguji teori sinyal Leland dan Pyle (1977) ini telah dilakukan oleh Wiyasha (2003), hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara α dengan nilai perusahaan yang merupakan proksi dari prospek arus kas yang akan datang. Hartono (2006) mengembangkan penelitian di pasar modal Indonesia dengan menambahkan variabel kepemilikan institusional sebagai variabel yang memperkuat sinyal arus kas perusahaan dimasa yang akan datang. Dasar pemikirannya adalah bahwa institusi atau lembaga seperti Pemerintah (PT Persero), Yayasan, Perseroan Terbatas (PT) memiliki kemampuan dan pengalaman lebih bagus dalam mengelola perusahaan dibandingkan dengan individu. Hasil penelitiannya selain mendukung prediksi teori Leland dan Pyle, ternyata kepemilikan institusional dapat memperkuat sinyal positif prospek perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana. Hal ini dapat diartikan bahwa para investor dengan minimnya informasi tentang prospek perusahaan yang melakukan IPO akan menggunakan referensi berapa proporsi saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama (α) dan juga siapa pemilik sebelumnya dalam pengambilan keputusan investasi.
Studi empiris tentang pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan juga telah banyak dilakukan antara lain: Slovin dan Suskha (1993) menunjukkan bahwa nilai perusahaan dapat meningkat jika institusi mampu menjadi alat monitoring yang efektif; Smith (1996) mengemukakan bahwa aktivitas monitoring yang dilakukan oleh institusi mampu mengubah struktur pengelolaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham, sehingga nilai perusahaan akan meningkat; McConnel dan Servaes (1990) menyimpulkan adanya hubungan yang positif antara kepemilikan institusional dengan nilai perusahaan; Field (1995) menemukan bukti bahwa perusahaan yang kepemilikan institusionalnya lebih besar dalam jangka panjang dapat menghasilkan return yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang kepemilikan institusionalnya lebih rendah; Opler dan Sobokin (1997) menemukan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin aktif pengawasan oleh institusi terhadap perusahaan sehingga meningkatkan nilai perusahaan; Varma (2001) juga dapat membuktikan bahwa kepemilikan institusional akan meningkatkan nilai perusahaan. Wahal dan McConnel (2000) melakukan penelitian terhadap 2.500 perusahaan di Amerika dari tahun 1988 sampai tahun 1994, hasil temuannya adalah bahwa argumen entrenchment manajemen tidak terbukti pada kondisi adanya kepemilikan institusional.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas saya mencoba untuk menarik beberapa kesimpulan. Pertama, dalam konsep investasi selalu melekat adanya return yang diharapkan dan risiko yang akan muncul. Prinsip dalam berinvestasi adalah dengan return tertentu risikonya terendah atau dengan risiko tertentu returnnya maksimal. Untuk itu sesuai dengan teori Markowitz agar risiko investasi dapat diminimalkan maka melakukan diversifikasi untuk membentuk portofolio investasi merupakan pilihan yang tepat. Kedua, pemilihan aset-aset yang membentuk portofolio penanaman dana tergantung pada preferensi investor terhadap return yang diharapkan dan risiko yang akan ditanggung atas aset–aset tersebut. Ketiga, perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO), memiliki prospek yang bagus apabila besarnya proporsi saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama (α) cukup besar dan perusahaan dimiliki oleh sebuah lembaga/institusi. Sinyal positif ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi investor dalam melakukan investasi pembelian saham di pasar perdana.

DAFTAR PUSTAKA
Akerlof, G.A.1970. The Market for “Lemon”: Quality Uncertainty and the Market Mechanism. The Quarterly Journal of Economics Vol. LXXXIV No.3: 488-500.

Charter, R., and S. Manaster. 1990. Initial Public Offering and Underwriter Reputation. The Journal of Finance Vol. XlV, No. 4: 1045 – 1065.

Clarkson, P.M., A. Dontoh., G. Richardson., and S.E. Sefcik. 1991. Retained Ownership and the Valuation of Initial Public Offerings: Canadian Evidence. Contemporary Accounting Research Vol. 8 No 1: 115-131.

Courteau, L. 1995. Under Diversification and Retention Commitments in IPO’s. Journal of Financial and Quantitative Analysis Vol. 30. No. 4: 487 – 518.

Conroy, R, and J.S. Hughes. 1988. On the Observability of Ownership Retenstion by Entrepreneurs with Private Information in the Market for New Issues. Contemporary Accounting Research Vol. 6 No. 1: 159-176

Crutchley, C.E., M.R.H. Jensen., J.S. Jahera, and J.E. Raymond. 1999. Agency Problems and The Simultaneity of Financial Decesion Making The Role of Institutional Ownership. International Review of Financial Analysis 8: 177-197.

Datar, S.M., G.A. Feltham, and J.S. Hughes. 1991. The Role of Audits and Audit Quality in Valuing New Issues. Journal of Accounting and Economies 14: 3 – 49.

Downes, D.H. and R. Heinkel. 1982. Signalling and the Valuation of Unseasoned New Issues. The Journal of Finance Vol. XXXVII No1 March 1-10.

French, D.W. 1991. Security and Portofolio Analysis, Columbus, OH, Merril.

Firt M., and C.K. Liau-Tan. 1998. Auditor Quality, Signalling, and The Valuation of Initial Public Offerings, Journal of Business Finance & Accountings, 25: 145-165.

Field, L.C. 1995. Is Institutional Investment in IPO Related to  long-Run Performance of these Firms?, University of California, Los Angeles.

Gale, I., and J.E. Stiglitz. 1989. The Informational Content of Initial Public Offerings. The Journal of Finance, Vol. XLIV. No. 2: 469-477.

Grinblatt, M., and C.Y. Hwang. 1989. Signalling and the Pricing of New Issues. The Journal of Finance, 44: 393-420.

Hughes, P.J. 1986. Signalling By Direct Disclosure under Asymmetric Information, Journal of Accounting And Economies, 8: 119-142.

_________. 1992. Discussions of “The Valuation of Initial Public offerings”, Contemporary Accounting Research Vol. 5        No. 2: 519-525.

Jogiyanto, H. M. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investisi, edisi 2, BPFE Yogyakarta.

Keasey, K., and H. Short. 1997. Equity Retention and Initial Public Offering: The Influence of Signalling and Entrenchment Effect. Applied Financial Economic 7: 75-85.

Krinsky, I., and W. Rotenberg. 1989. Signalling and the Valuation of Unseasoned New Issues Revisited. Journal of Financial and Quantitave Analysis Vol. 24 No. 2 June: 257-266.

Leland, H.E., and D.H. Pyle. 1977. Informational Asymmetries, Financial Strucutre, and Financial Intermediation. The Journal of Finance Vol. XXXII. No. 2: 371- 387.
Marwan Asri, 2003. Ketidakrasionalan Investor di Pasar Modal., Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Opler, T.C., and J. Sobokin. 1995. Does Coordinated Institutional Shareholders Activism Work? An Analysis of The Activities of The Council of Institutional Investors. Working Paper.

Prasad, D., and A. Merikas. 1990. Conveying Value of Firm’s Equity Through Signals: An Empirical Study of Initial Public Offerings. Journal of Economics and Finance Vol. 14:          171-180.

Reilly, F.K. 1992. Investment Analysis and Portofolio Management, 3rd ed., Chicago, IL, The Dryden Press.

Ritter, J.R. 1991. The Long-Run Performance of Initial Public Offering. The Journal of Finance Vol. XLVI, No. 1: 3-27.

______1984. Signaling and the Valuation of Unseasoned New Issues: A Comment. The journal of Finance Vol. XXXIX. No. 40: 1231-1237.
______1984. The “Hot Issue” Market of 1980. Journal of Business Vol. 57 No. 2: 215-240.

Sartono, A. 2001. Pengaruh Aliran Kas Internal dan Kepemilikan Manajer dalam Perusahaan Terhadap Pembelanjaan Modal: Managerial Hypothesis atau Pecking Order Hypothesis. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 16, No. 1: 54-63.

Short, H., and K. Keasey. 1999. Managerial Ownership and the Performance of Firms: Evidence from the UK. Journal of Corporate Finance 5, 79-101.

Siegel, J.J., 1992. Does It Pay Stock Investors to Forecast the Business Cycle? Jurnal of Portfolio Management 18 (1),  28-38

Slovin, M.B., and M.E. Sushka. 1993. Ownership Concentration, Corporate Control Activity, and Firm Value: Evidence from the Death of Inside Blockholders. Journal of Finance            Vol. XLVIII, No. 4.

Smith, M.P. 1996. Shareholder Activism by Institutional Investors: Evidence from CalPERS. The Journal of Finance Vol. LL. No. 1: 227-252.

Tandelilin, E., and T. Wilberfore. 2002. Can Debt and Dividend Policies substitute Insider Ownership in Controlling Equity Agency Conflict? Gadjah Mada International Journal of Business Vol. 4. No .1: 31-43.

_______,2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. BPFE, Yogyakarta.
Varma, R. 2001. The Role of Institutional Investors in Equity Financing and Corporate Monitoring. Journal of Business and Economic Studies 7: 39-53.

Wahal, S., and J.J. McConnell. 2000. Do Institutional Investors Exacerbate Managerial Myopia? Journal of Corporate Finance 6: 307-329.

Wiyasha, I.B.M. 2003. Analisis Proporsi Kepemilikan Saham Pemilik Lama  Pada Penerbitan Saham Perdana Studi Kasus di BEJ. Disertasi tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada.

Winger, B.J., R.R. Frasca. 1991. Investment: Introduction to Analysis and Planning, 2nd ed., New York, NY, Macmillan.
           
Pidato Prof. Dr. H. Hartono, M.S dalam pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret yang temuat dalam https://library.uns.ac.id/pertimbangan-return-dan-risiko-dalam-keputusan-investasi/